Ihtiar Sehat dengan Sinovac

Kolom Jumat’an: Jumat 22 Januari 2021

oleh: Prof Dr Masrukhi MPd

Dalam sebuah percakapan di WAG juri pilmapres (pemilihan mahasiswa berprestasi) tingkat nasional, sahabat saya, yang adalah seorang dokter dan saat ini menjadi wakil direktur bidang pendidikan dan penelitian Rumah Sakit UNS Surakarta, dr.Tonang Ardyanto, SpPk, Ph.D, menjelaskan bahwa  “Efikasi vaksin hanya 65%, berarti kalau ada 100 orang divaksin, maka yang 35 orang tetap kena covid?“, bukan, bukan begitu.

Efikasi itu risiko relatif, rasio risiko atau  perbandingan risiko, antara yang divaksin dan yang tidak divaksin. Kalau angkanya 65,3% itu artinya, orang yang tidak divaksin, memiliki resiko 3 kali lipat daripada yang mendapat vaksin. Jadi ya tetap bermanfaat. Jadi, kalau divaksin, maka punya 3 perisai. Kalau tidak divaksin, hanya punya 1 perisai. Untuk apa? Untuk mencegah kena covid bergejala. Yang divaksin, masih aman kalau baru tembus 2 perisai. Kalau yang tidak divaksin, langsung kena begitu tembus 1 perisai. Jadi lebih mudah ditembus yang tidak divaksin.

Dibandingkan dengan berbagai informasi yang saya terima dari berbagai media sosial, saya lebih percaya dengan penyampaian teman saya ini. Apalagi beliaulah salah seorang ahlinya. Orang yang divaksin itu akan memiliki 3 perisai untuk terhindar dari covid daripada yang tidak divaksin yang hannya mempunyai 1 perisai. Mudah sekali dinalar oleh orang yang bukan tidak bergelut dengan bidang kesehatan.

Berita hoax banyak sekali beredar di media sosial menyertai proses awal vaksinasi. Ada yang menyoal efek sampinglah, tidak manjur lah, buatan China lah, sampai meyoal mengapa tidak jenis Pfizer, Moderna, Oxford-AstraZeneca, atau yang lainnya.

Sudah tentu kita mengikuti saja pendapat para ahli yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan, daripada yang beropini seolah ahli padahal tidak tahu secara mendalam.

Kesiapan untuk divaksinasi merupakan sebuah kewajaran sebagai ikhtiar menghindarkan diri dari tertular covid-19 dan sekaligus memutus mata rantai penularaannya. Ikhtiar untuk kembali hidup secara normal. Ketika pemerintah memutuskan pilihannya pada vaksin sinovac, sudah tentu telah melalui berbagai pertimbangan dengan melibatkan para ahli di bidangnya.

Di dalam ajaran Islam berikhtiar untuk mencapai sesuat kemaslahatan atau menghindar dari sesuatu yang mendatangkan kemudharatan merupakan sebuah keniscayaan.

Suatu hari khalifah Umar bin Khotthob yang terkenal tegas dan bijak ingin meninjau rakyatnya di wilayah Syam sekaligus ingin menemui gubernurnya yang bernama Abu Ubaidah bin Al Jarrah.

Maka berjalanlah sang khalifah bersama rombongannya dengan menaiki unta menuju ke daerah tersebut, dengan membawa berbagai bantuan makanan untuk dibagikan. Ketika rombongan sampai di perbatasan, datanglah sang gubernur menemuinya, untuk memberikan kabar kepada khalifah bahwa daerahnya sedang terjangkit wabah tho’un, sebagian besar penduduk bahkan sudah kepayahan terkena wabah tersebut.  Sang gubernur itu khawatir, wabah tho’un itu menyerang khalifah beserta rombongan, jika tetap berkunjung ke wilayah Syam. Diceriterakan oleh Syaikh Ali Ash Shalabi, pengarang buku  tentang Khalifah Umar bin Khotthob, tho’un adalah wabah penyakit menular berupa benjolan diseluruh tubuh yg akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan.

Maka berhentilah sang khalifah, dan dimintakan pendapatnya dari para sahabatnya yang turut serta perjalanan. Terjadilan perdebatan, antara para sahabat yang menginginkan tetap masuk wilayah Syam, dengan para sahabat yang menyarankan untuk mengurungkan perjalanan dan kembali ke Madinah. Mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya sang Khalifah memutuskan untuk mengurungkan niatnya dan hendak kembali ke Madinah. Salah seorang sahabat yang tidak puas dengan keputusan itu, dengan suara tinggi menegur Umar, bukankah Engkau sudah berniat meninjau penduduk Syam ?, Allah akan melindungimu dari wabah tersebut, apakah engkau hendak mengalihkan takdir Allah?.

Saat itulah dengan tegas khalifah Umar berkata “kita beralih dari satu takdir ke takdir lain yg lebih baik. Jika kamu punya kambing dan ada dua lahan yang subur dan yang kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah”

Perdebatan itu mereda, setelah sahabat Abdurrahman bin Auf  mengucapkan hadist Rasulullah SAW.”Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya” (HR. Bukhari & Muslim).

Hadits di atas sudah cukup memberikan dasar teologis bahwa ikhtiat harus dilakukan secara maksimal ketika kita menghadapi mara bahaya, apalagi yang mengancam semua orang. Vaksin sinovac merupakan sebuah ikhtiar menghadapi virus covid-19.

Dalam konteks ajaran Islam memang ada persyaratan bahwa barang luar yang akan dimasukkan ke dalam tubuh kita (semacam vaksin) haruslah memenuhi unsur suci dan halal. Suci mengandung makna bukanlah najis atau kotoran, sedangkan halal bermakna bahwa benda tersebut merupakan anasir yang mengandung  sesuatu yang diharamkan oleh Islam.

Majlis Ulama Indonesia sudah tentu merupakan lembaga yang memiliki kompetensi dan kewenaangaan akan hal ini. Dengan mempertimbangkan bahwa wabah covid-19 masih secara serius mengancam kesehatan dan keberlangsungan hidup masyarakat, serta setelah melakukan serangkaian pengamatan secara langsung ke fasilitas Sinovac di Cina , disertai dengan diskusi diskusi mendalam maka kemudian keluarlah fatwa MUI no.02 tahun 2021. Dalam fatwa ini Majlis Ulama Indonesia menegaskan bahwa vaksin COVID-19 produksi Sinovac dan Bio Farma dijamin akan kesucian dan kehalalannya, sehingga dapat digunakan untuk umat Islam.

Taat kepada pemimpin negara untuk menghindarkan diri dari wabah covid-19 saat ini, adalah sebuah keniscayaan. Berperilaku pola hidup bersih, mencuci tangan, menjaga kesehatan tubuh, membatasi kerumunan manusia, membatasi kontak fisik, isolasi diri bagi yang terdapat gejala tertular, bahkan dalam menjalankan ibadah agama, karena keadaan darurat, untuk melaksanakannya di rumah, dan sebagainya, merupakan sesuatu yang harus dilakukan kita bersama.

Kemudian saling membantu antar sesamanya, saling bersinergi antar berbagai elemen masyarakat untuk bersama-sama memberantas penyebaran covid-19 merupakan sebuah keniscayaan juga. Artinya janganlah sampai terjadi pertengkaran, perpecahan, saling menyalahkan, dan sebagainya, yang hanya akan memperparah kondisi psikhis masyarakat.***

((Penulis merupakan Guru Besar PKn Unnes yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus).))

 

About Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*